Tuesday, August 9, 2016

BINGUNG MENCARI YANG HILANG

BINGUNG MENCARI YANG HILANG

Pernahkan Anda kebingungan mencari yang hilang? Akan lebih bingung lagi saat Anda tidak tahu apa yang dicari. “Ada yang hilang dalam diri saya, tapi saya tidak tahu apa itu.” Maka, pencariannya tidak pernah selesai, karena tidak akan pernah menemukan yang dia cari. Bagaimana bisa menemukan apa yang dia cari? Dia tidak tahu apa yang dia cari.

Pertanyaan:
saat ini ana sedang dlm kebingungan untuk melangkah,,,terkadang ana merasa segala sesuatu yg kulakukan belum terlalu maksimal jd akibatnya ada rasa hampa, seakan-akan seperti ada sesuatu yg tertinggal dan ana sendiri nggak tau apa itu. kata SEMANGAT sering ana dengar tp itu belum cukup bagiku, ana ingin mencari sesuatu tapi bingung sendiri nggak tau apa itu? [Dari seseorang yang namanya tidak saya publikasikan].

Hal ini sebenarnya banyak yang mengalaminya. Sehingga muncul istilah “pencarian jati diri”. Siapakah saya dan mau apa saja? Kenapa saya berada? Itu pertanyaan yang sering muncul saat seseorang sedang mencari jati dirinya. Di manakah kita bisa menemukan jati diri kita? Jawaban terbaik dan pasti benar tentu dari Pencipta kita. Dia Mahatahu tentang kita.


“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Al Dzariyaat:56)

Tidak ada yang lain, hidup ini hanya untuk beribadah kepada Allah. Ibadah yang dimaksud adalah bukan hanya ibadah ritual, tetapi semua ibadah yang diperintahkan melalui Al Quran dan Hadits, termasuk di dalamnya dakwah, jihad, mencari nafkah, dan sebagainya. Jadi kita tidak perlu bingung, beribadahlah.

Pertama, penuhi fardlu ‘ain. Ini harus dilakukan oleh semua orang. Sedangkan Fardhu Kifayah yaitu kewajiban kolektif jika sudah dilakukan oleh orang lain maka gugurlah kewajiban tersebut, seperti menyelenggarakan jenazah, menuntut sebagian ilmu tertentu, dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad dan lain-lain. Pada saat tertentu Fardhu Kifayah dapat berubah menjadi Fardhu Ain, seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad.

Berkaitan dengan perasaan belum optimal, disini mencakup dua dimensi. Yang pertama masalah keikhlasan. Kita harus meningkatkan terus kualitas keikhlasan kita. Jika kita sudah ikhlas dalam beribadah, insya Allah tidak ada lagi perasaan hampa. Yang kedua adalah optimalisasi ikhtiar. Artinya, kita harus terus menerus meningkatkan kualitas ibadah kita, yang di dalamnya berupa kualitas ibadah ritual, kualitas menuntut ilmu, kualitas berbisnis, kualitas bekerja, dan sebagainya.

Dalam ibadah ritual, kita harus mengikuti syariat yang sudah ditetapkan.

Dari Ibunda kaum mu’minin, Ummu Abdillah “Aisyah rodhiyallohu “anha, dia berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari kami, maka (amalan) itu tertolak.” (HR. Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim: …”Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak.

Sementara saat kita berkarya atau dalam ibadah muamalah, kita harus terampil atau profesional.

Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad)

Dan, yang terakhir. Semuanya butuh proses. Teruslah belajar dan teruslah berusaha.

No comments:

Post a Comment